Sejarah Seni Rupa Indonesia: Sebuah Ikhtisar

Soedibio, To you People of Jogja,
1949, oil on canvas, 200 x 136 cm
Sebuah pameran lukisan yang
merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir. Pameran ini bermaksud memetakan
sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang dipertahankan dan apa
yang ditinggalkan dalam lukisan-lukisan itu. Pameran serius berkat dukungan
Gajah Gallery Singapura.
A
|
pa yang penting dalam pameran Seeing
Paintings: Conversations Before The End History di Sangkring Art Space
adalah melihat sejarah seni rupa Indonesia dari karya-karya lukis.
Lukisan-lukisan yang dipamerkan dinilai mewakili semangat zamannya. Aminuddin
Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa indonesia
modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan tersebut
berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain lukisan, juga
dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan sejarah seni
lukis Indonesia.
Pameran yang didukung Gajah Gallery
Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal sejarah
seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang
menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia.
Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.
Pameran ini bermaksud membangun
lanskap periode sejarah seni rupa Indonesia modern dalam sebuah pameran dengan
menekankan aspek kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas. Maksud dari rumusan
sejarah seni lukis ini tidak menggunakan pandangan yang menempatkan sebuah
angkatan yang membedakan dengan angkatan pada generasi selanjutnya. Pemahaman
sejarah yang hendak dibangun dalam pameran ini adalah menerapkan sisi apa yang
disebut sebagai retakan (rupture) yang mula-mula sukar dipahami tetapi
seiring berjalannya waktu apa yang sukar tersebut pelahan-lahan membentuk pola
dan tipe tertentu.
Dengan cara ini sejarawan seni
mencatat tipe tertentu dalam perkembangan sejarah bukan dengan menggolongkan
karya-karya seni setipe, tetapi melihatnya sebagai rangkaian dalam sebuah
proses sejarah yang melanjutkan dan meninggalkan (continue and discontinue)
ciri tertentu dalam perjalanan di dalam ruang dan waktu. Sejarah seni mencatat
apa yang terlihat pada karya seni sekaligus berkait erat dengan situasi
kemasyarakatan yang terus-menerus berjalan.
Dalam perjalanan ruang dan waktu
selama abad 20 ada banyak hal terjadi, khususnya bagaimana semangat
nasionalisme membuncah yang akan melahirkan Indonesia. Masa ini penting bagi
pembentukan seni rupa Indonesia.
Disebut masa penting bagi seni rupa
Indonesia lantaran masa ini benih-benih kesadaran nasionalisme sebagai negasi
atas kolonialisme Belanda. Kesadaran itu berupa penolakan gaya lukisan mooi
indie yang dominan pada masa itu yang dilakukan secara terbuka oleh S.
Sudjojono. Lelaki kelahiran 1913 ini menyatakan pada 1948 bahwa lukisan mooi
indie tidak menggambarkan realitas yang ada pada masa itu. S. Sudjojono
menekankan lukisan yang benar-benar menggambarkan realitas apa adanya. Maka
dalam kanvasnya hadir situasi perang kemerdekaan berupa rakyat sedang
mengungsi, para pejuang di medan tempur. Goresan yang ditorehkan pada kanvas
kasar, pilihan warnanya muram, dan tidak enak dipandang mata bila dibandingkan
dengan lukisan mooi indie. S. Sudjojono mengumandangkan jiwa kethok (tampak)
sebagai kredo dalam membuat karya
Affandi sudah muncul dengan karya
yang mengangkat kehidupan keseharian pada akhir 1930-an. Objek-objek keseharian
dari kalangan kelas bawah dominan pada lukisan-lukisan Affandi. Objek-objek
yang menjadi perhatian Affandi tidak lain gambaran mengenai rakyat Indonesia
pada masa itu. Rakyat Indonesia yang belum terlembaga. Itulah realitas
keindonesiaan menjelang kelahirannya pada 1945.
Soedibio melukiskan masa perang pada
zaman Jepang. Ia menggarap tema-tema maut yang terkait dengan penjajahan
Jepang. Lukisan berjudul Untukmu Rakyat Yogya (To you people of Yogya)
ukuran 200×136 yang dilukis pada 1949 yang dipilih Aminuddin mengesankan
situasi horor, kelam, dan surealis. Namun keseharian tetap menjadi isu utama
dalam lukisan ini.
Demikian juga Sudjana Kerton.
Karyanya berjudul Makan Jagung ukuran 88×72 cm (1988) menggambarkan
orang sedang makan jagung di tengah kebun jagung dan sementara orang lainnya
tengah membakar jagung. Karya ini menghadirkan keseharian sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia.
Perkembangan selanjutnya pada
1950-an. Lukisan yang muncul pada masa ini tidak lagi mengikuti S. Sudjojono.
Masa ini mulai mempermasalahkan kanvas sebagai masalah estetik itu sendiri.
Bentuk dari seni lukis itu sendiri yang berkait dengan garis, warna, dan tema
di dalamnya menjadi perhatian utama. Apakah karya-karya itu terkait dengan
lingkungan di mana seniman itu berada, adalah soal lain. Seniman-seniman
tersebut, antara lain Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, But
Mochtar, dan Srihadi Soedarsono.
Pada masa ini di Barat sedang
kuat-kuatnya aliran lukisan abstrak sebagai akibat bawaan dari Perang Dingin.
Perupa pada masa ini sudah berkorespondensi dengan perkembangan dan pemikiran
yang sedang terjadi di Barat.
http://www.sarasvati.co.id/acara-seni/12/sejarah-seni-rupa-indonesia-sebuah-ikhtisar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar