Kamis, 02 Oktober 2014

sejarah seni rupa



Sejarah Seni Rupa Indonesia: Sebuah Ikhtisar
by Imam Muhtarom
Posted 04 Desember, 2013.
Soedibio oke
Soedibio, To you People of Jogja, 1949, oil on canvas, 200 x 136 cm
Sebuah pameran lukisan yang merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir. Pameran ini bermaksud memetakan sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang dipertahankan dan apa yang ditinggalkan dalam lukisan-lukisan itu. Pameran serius berkat dukungan Gajah Gallery Singapura.
A
pa yang penting dalam pameran Seeing Paintings: Conversations Before The End History di Sangkring Art Space adalah melihat sejarah seni rupa Indonesia dari karya-karya lukis. Lukisan-lukisan yang dipamerkan dinilai mewakili semangat zamannya. Aminuddin Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa indonesia modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan tersebut berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain lukisan, juga dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan sejarah seni lukis Indonesia.
Pameran yang didukung Gajah Gallery Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal sejarah seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia. Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.
Pameran ini bermaksud membangun lanskap periode sejarah seni rupa Indonesia modern dalam sebuah pameran dengan menekankan aspek kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas. Maksud dari rumusan sejarah seni lukis ini tidak menggunakan pandangan yang menempatkan sebuah angkatan yang membedakan dengan angkatan pada generasi selanjutnya. Pemahaman sejarah yang hendak dibangun dalam pameran ini adalah menerapkan sisi apa yang disebut sebagai retakan (rupture) yang mula-mula sukar dipahami tetapi seiring berjalannya waktu apa yang sukar tersebut pelahan-lahan membentuk pola dan tipe tertentu.
Dengan cara ini sejarawan seni mencatat tipe tertentu dalam perkembangan sejarah bukan dengan menggolongkan karya-karya seni setipe, tetapi melihatnya sebagai rangkaian dalam sebuah proses sejarah yang melanjutkan dan meninggalkan (continue and discontinue) ciri tertentu dalam perjalanan di dalam ruang dan waktu. Sejarah seni mencatat apa yang terlihat pada karya seni sekaligus berkait erat dengan situasi kemasyarakatan yang terus-menerus berjalan.
Dalam perjalanan ruang dan waktu selama abad 20 ada banyak hal terjadi, khususnya bagaimana semangat nasionalisme membuncah yang akan melahirkan Indonesia. Masa ini penting bagi pembentukan seni rupa Indonesia.
Disebut masa penting bagi seni rupa Indonesia lantaran masa ini benih-benih kesadaran nasionalisme sebagai negasi atas kolonialisme Belanda. Kesadaran itu berupa penolakan gaya lukisan mooi indie yang dominan pada masa itu yang dilakukan secara terbuka oleh S. Sudjojono. Lelaki kelahiran 1913 ini menyatakan pada 1948 bahwa lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas yang ada pada masa itu. S. Sudjojono menekankan lukisan yang benar-benar menggambarkan realitas apa adanya. Maka dalam kanvasnya hadir situasi perang kemerdekaan berupa rakyat sedang mengungsi, para pejuang di medan tempur. Goresan yang ditorehkan pada kanvas kasar, pilihan warnanya muram, dan tidak enak dipandang mata bila dibandingkan dengan lukisan mooi indie. S. Sudjojono mengumandangkan jiwa kethok (tampak) sebagai kredo dalam membuat karya

Affandi sudah muncul dengan karya yang mengangkat kehidupan keseharian pada akhir 1930-an. Objek-objek keseharian dari kalangan kelas bawah dominan pada lukisan-lukisan Affandi. Objek-objek yang menjadi perhatian Affandi tidak lain gambaran mengenai rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat Indonesia yang belum terlembaga. Itulah realitas keindonesiaan menjelang kelahirannya pada 1945.
Soedibio melukiskan masa perang pada zaman Jepang. Ia menggarap tema-tema maut yang terkait dengan penjajahan Jepang. Lukisan berjudul Untukmu Rakyat Yogya (To you people of Yogya) ukuran 200×136 yang dilukis pada 1949 yang dipilih Aminuddin mengesankan situasi horor, kelam, dan surealis. Namun keseharian tetap menjadi isu utama dalam lukisan ini.
Demikian juga Sudjana Kerton. Karyanya berjudul Makan Jagung ukuran 88×72 cm (1988) menggambarkan orang sedang makan jagung di tengah kebun jagung dan sementara orang lainnya tengah membakar jagung. Karya ini menghadirkan keseharian sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Perkembangan selanjutnya pada 1950-an. Lukisan yang muncul pada masa ini tidak lagi mengikuti S. Sudjojono. Masa ini mulai mempermasalahkan kanvas sebagai masalah estetik itu sendiri. Bentuk dari seni lukis itu sendiri yang berkait dengan garis, warna, dan tema di dalamnya menjadi perhatian utama. Apakah karya-karya itu terkait dengan lingkungan di mana seniman itu berada, adalah soal lain. Seniman-seniman tersebut, antara lain Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, But Mochtar, dan Srihadi Soedarsono.
Pada masa ini di Barat sedang kuat-kuatnya aliran lukisan abstrak sebagai akibat bawaan dari Perang Dingin. Perupa pada masa ini sudah berkorespondensi dengan perkembangan dan pemikiran yang sedang terjadi di Barat.

http://www.sarasvati.co.id/acara-seni/12/sejarah-seni-rupa-indonesia-sebuah-ikhtisar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar